Film Snowden: Dari Pegawai NSA Menjadi Simbol Kebebasan Digital

snowden

Aku masih ingat hari di mana berita tentang Edward Snowden pertama kali meledak di berbagai media. Tahun 2013, dunia tiba-tiba dikejutkan oleh seorang pria muda yang berani menentang kekuatan paling besar di muka bumi—pemerintah Amerika Serikat. Namanya Edward Joseph Snowden, seorang analis teknologi informasi yang kelak dikenal bukan hanya sebagai pembocor rahasia intelijen, tapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap pengawasan massal dan pelindung kebebasan digital.

Dan di sinilah kisahnya dimulai—kisah seorang manusia biasa yang memilih melawan sistem demi kebenaran.

Awal Kehidupan: Anak Jenius yang Tumbuh Bersama Komputer

Film Edward Snowden Tayang di Layar Lebar September Ini - Tekno Liputan6.com

Edward Snowden lahir pada 21 Juni 1983 di Elizabeth City, North Carolina. Ia tumbuh dalam keluarga yang sangat “Amerika”: ayahnya seorang petugas di Coast Guard, ibunya bekerja di pengadilan federal, dan kakeknya adalah veteran Angkatan Laut. Dari kecil, Snowden sudah menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata Wikipedia.

Namun, perjalanan pendidikannya tak semulus kecerdasannya. Ia sempat berhenti sekolah menengah karena sakit parah dan akhirnya menempuh pendidikan lewat jalur GED (setara SMA). Tapi dari sinilah keajaiban dimulai—di rumah, ia mulai menekuni komputer.

Snowden muda jatuh cinta pada dunia digital. Ia belajar pemrograman, keamanan jaringan, dan sistem operasi secara otodidak. Ia sering mengatakan, “Internet membuat saya belajar lebih banyak daripada ruang kelas mana pun.”

Di usia 20-an, kemampuannya menarik perhatian banyak pihak. Ia diterima bekerja di CIA sebagai spesialis keamanan komputer, dan tak lama kemudian bekerja untuk National Security Agency (NSA) sebagai kontraktor. Dari sini, pintu menuju rahasia terdalam pemerintahan Amerika terbuka lebar di hadapannya.

Pekerjaan di NSA: Di Balik Layar Pengawasan Dunia

Bagi kebanyakan orang, bekerja di NSA adalah mimpi—gaji besar, teknologi canggih, dan rasa bangga menjadi bagian dari pertahanan nasional. Tapi bagi Snowden, semakin lama ia bekerja, semakin banyak hal yang membuatnya gelisah.

Ia mulai menyadari sesuatu yang aneh: pemerintah Amerika tidak hanya memantau musuh, tapi juga rakyatnya sendiri. Melalui program-program seperti PRISM, XKeyscore, dan Tempora, NSA dapat mengakses email, panggilan telepon, lokasi GPS, bahkan aktivitas media sosial miliaran orang di seluruh dunia.

Yang paling mengerikan, semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan publik.

Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Snowden pernah berkata dengan nada getir:

“Mereka tidak hanya mengumpulkan data tentang teroris. Mereka mengumpulkannya tentang semua orang. Semua waktu. Tanpa izin.”

Snowden mulai merasa dirinya terjebak dalam dilema moral. Ia mencintai negaranya, tapi ia juga percaya bahwa kebebasan dan privasi adalah hak yang tak boleh dilanggar. Ia menimbang-nimbang selama berbulan-bulan, membaca dokumen rahasia, dan menyaksikan kebijakan yang menurutnya melampaui batas.

Dan suatu hari, ia membuat keputusan yang mengubah hidupnya selamanya: membocorkan rahasia itu kepada dunia.

Kebocoran Besar: Ketika Dunia Tahu Segalanya

Pada awal 2013, Snowden mulai mengumpulkan ribuan dokumen rahasia NSA yang menunjukkan sejauh mana pengawasan dilakukan. Ia berkomunikasi secara rahasia dengan dua jurnalis terkenal: Glenn Greenwald dari The Guardian dan Laura Poitras, pembuat film dokumenter.

Ia tahu taruhannya besar. Jika tertangkap, ia bisa dihukum seumur hidup atau bahkan lebih buruk. Tapi Snowden tetap melangkah.

Pada bulan Juni 2013, The Guardian dan The Washington Post mulai menerbitkan laporan-laporan yang mengguncang dunia. Dokumen yang dibocorkan Snowden mengungkap bahwa NSA menyadap data dari raksasa teknologi seperti Google, Facebook, Apple, dan Microsoft.

Tak hanya itu, Amerika bahkan memata-matai para pemimpin dunia, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel. Dunia pun bereaksi keras. Pemerintah-pemerintah asing marah, warga Amerika terkejut, dan debat besar tentang privasi digital mulai menggelegar di seluruh dunia.

Di tengah badai itu, Edward Snowden muncul pertama kali ke publik melalui wawancara video dari sebuah hotel di Hong Kong. Dengan suara tenang dan wajah penuh keyakinan, ia berkata:

“Saya tidak ingin hidup di dunia di mana segala yang saya lakukan, setiap kata yang saya ucapkan, direkam. Itu bukanlah sesuatu yang saya ingin dukung atau tinggali.”

Pelarian: Dari Hong Kong ke Moskow

Begitu identitasnya terungkap, Snowden menjadi buronan paling dicari di dunia. Pemerintah Amerika menuduhnya melanggar Espionage Act dan segera mencabut paspornya. Ia pun melarikan diri dari Hong Kong menuju Moskow dengan harapan bisa melanjutkan perjalanan ke Ekuador, negara yang dikenal memberi suaka bagi pembocor seperti Julian Assange.

Namun, keberuntungan tak berpihak. Paspornya dibatalkan saat ia transit di bandara Sheremetyevo, Moskow. Ia terjebak di zona transit bandara selama berhari-hari tanpa status hukum yang jelas—tidak bisa masuk Rusia, tidak bisa keluar ke negara lain.

Kisahnya seperti film thriller. Ia tidur di kursi bandara, makan makanan instan, dan terus diawasi banyak mata. Media internasional pun tak berhenti memberitakan setiap gerakannya. Setelah bernegosiasi panjang, pemerintah Rusia akhirnya memberinya suaka sementara selama satu tahun.

Sejak saat itu, Snowden menetap di Rusia—negara yang ironisnya dikenal juga memiliki sistem pengawasan ketat. Namun di sanalah ia hidup sampai hari ini.

Hidup di Pengasingan: Dari Buronan Menjadi Simbol

Prime Video: Snowden

Bertahun-tahun berlalu, Snowden tetap menjadi figur yang kontroversial. Bagi sebagian orang, ia adalah pahlawan modern—orang yang berani mengungkap kebenaran dan mempertaruhkan kebebasan demi prinsip. Tapi bagi pemerintah Amerika, ia adalah pengkhianat yang membahayakan keamanan nasional.

Dalam wawancara, Snowden sering mengatakan bahwa ia tidak menyesali keputusannya. Ia percaya bahwa masyarakat berhak tahu apa yang dilakukan pemerintah di balik layar.

“Jika mengungkap kebenaran membuat saya pengkhianat, maka kita semua membutuhkan lebih banyak pengkhianat seperti itu,” ujarnya suatu kali.

Di Rusia, Snowden menikahi Lindsay Mills, kekasih lamanya dari Amerika. Mereka hidup cukup sederhana, jauh dari sorotan, tapi Snowden tetap aktif berbicara lewat dunia maya. Ia menulis buku berjudul Permanent Record (2019), yang menceritakan kisah hidupnya dan motivasinya melakukan pembocoran.

Buku itu menjadi bestseller dan semakin memperkuat citranya sebagai ikon kebebasan digital. Ia juga aktif bekerja sama dengan organisasi hak privasi seperti Electronic Frontier Foundation (EFF), serta sering menjadi pembicara melalui video konferensi di berbagai universitas dan forum internasional.

Dampak Global: Dunia yang Tak Lagi Sama

Apa yang dilakukan Snowden tidak hanya mengguncang politik Amerika, tapi juga mengubah cara dunia memandang internet. Setelah kebocoran besar itu, banyak negara mulai meninjau ulang kebijakan pengawasan digital. Uni Eropa misalnya, memperkuat aturan perlindungan data pribadi melalui General Data Protection Regulation (GDPR).

Perusahaan teknologi pun mulai berlomba-lomba meningkatkan enkripsi. WhatsApp, Signal, dan banyak platform lain mengadopsi sistem end-to-end encryption agar pesan pengguna tak bisa diintip pihak mana pun.

Bahkan Google dan Apple, yang semula dikritik karena keterlibatannya dalam PRISM, mulai membangun citra baru sebagai pelindung privasi pengguna.

Namun, Snowden juga menimbulkan perdebatan abadi. Banyak pihak berpendapat bahwa kebocorannya membahayakan operasi intelijen, membuat teroris bisa lebih berhati-hati dalam komunikasi mereka. Tapi di sisi lain, sebagian besar masyarakat menilai bahwa transparansi adalah harga yang harus dibayar untuk menjaga demokrasi.

Dilema Etika: Pahlawan atau Pengkhianat?

Sampai hari ini, dunia belum sepakat tentang siapa sebenarnya Edward Snowden. Ia berjalan di antara dua garis tipis: antara idealisme dan pengkhianatan.

Jika dilihat dari sisi pemerintah, tindakannya jelas melanggar hukum. Ia mencuri dokumen rahasia dan membocorkannya ke publik. Tapi jika dilihat dari sisi moralitas, tindakannya adalah bentuk tanggung jawab terhadap kemanusiaan—membela hak asasi manusia di era digital.

Banyak akademisi dan aktivis membandingkannya dengan tokoh-tokoh seperti Daniel Ellsberg (pembocor dokumen Pentagon Papers tentang Perang Vietnam) atau Chelsea Manning. Mereka semua menghadapi konsekuensi berat, tapi kisah mereka menunjukkan satu hal penting: bahwa terkadang hukum dan keadilan tidak selalu berjalan beriringan.

Kehidupan Kini: Snowden dan Masa Depan Kebebasan Digital

Setelah lebih dari satu dekade sejak kebocorannya, Snowden kini telah mendapatkan izin tinggal permanen di Rusia, bahkan dilaporkan telah menjadi warga negara Rusia pada 2022.

Namun, ia tetap berjuang dari kejauhan. Lewat wawancara, ia sering menyoroti bahaya pengawasan digital yang kini justru semakin canggih. Dari teknologi pengenalan wajah, data tracking, hingga kecerdasan buatan yang dapat menganalisis perilaku pengguna secara real-time—semua itu menurutnya adalah ancaman baru terhadap kebebasan individu.

Snowden sering menegaskan bahwa perjuangannya belum selesai. Ia percaya bahwa masyarakat harus melek teknologi, memahami bahwa setiap klik, setiap lokasi, dan setiap kata di dunia maya adalah jejak yang bisa diawasi.

Ia pernah berkata:

“Privasi bukan berarti kita punya sesuatu untuk disembunyikan. Privasi adalah tentang memiliki kendali atas siapa yang tahu apa tentang kita.”

Pelajaran dari Snowden: Tentang Keberanian dan Nilai Kebenaran

Jika ada satu hal yang bisa kupetik dari kisah Edward Snowden, itu adalah keberanian untuk berkata tidak pada sistem yang salah, meskipun risikonya adalah kehilangan segalanya.

Bayangkan saja—seorang pria berusia 29 tahun meninggalkan pekerjaannya, keluarganya, negaranya, dan masa depannya hanya demi satu hal: agar dunia tahu bahwa mereka sedang diawasi. Itu bukan tindakan sembrono, melainkan panggilan nurani.

Dalam dunia yang semakin digital seperti sekarang, kisah Snowden menjadi cermin bagi kita semua. Ia mengingatkan bahwa teknologi bukan hanya alat untuk kemudahan, tapi juga alat kekuasaan. Dan kekuasaan tanpa pengawasan selalu berpotensi disalahgunakan.

Baca fakta seputar : movie

Baca juga artikel menarik tentang : Alien Outbreak: Kisah Seru, Fakta Mengejutkan & Tips Bertahan Hidup Versiku

Author