Tari Jempiring: Keindahan Budaya Bali yang Mulai Terlupakan

Tari Jempiring

Aku masih ingat pertama kali lihat Tari Jempiring itu pas ada pentas budaya di Gianyar, Bali. Waktu itu, aku sebenarnya cuma mampir karena diajak teman yang seniman. Tapi begitu penarinya mulai bergerak—dengan gerakan tangan yang lembut, ekspresi mata yang halus, dan kain warna-warni yang mengikuti angin sore—aku langsung terdiam. Bukan karena kagum aja, tapi karena ada sesuatu yang menyentuh, kayak lagi diajak masuk ke sebuah kisah yang tidak aku pahami, tapi sangat ingin aku mengerti.

Keindahan Tari Jempiring yang Tak Sekadar Hiburan

Tari Sekar Jempiring Maskot Kota Denpasar - Perusahaan Umum Daerah

Yang bikin Culture Tari Jempiring beda, menurutku, bukan cuma karena gerakannya halus dan penuh estetika. Tapi karena dia kayak mengandung semacam “napas jiwa” yang tenang tapi dalam. Nama “Jempiring” sendiri, kalau kamu belum tahu, itu nama lain dari bunga Gardenia yang harum dan melambangkan kelembutan hati. Nah, bunga ini jadi simbol dalam tarian, menggambarkan kecantikan perempuan Bali yang anggun dan penuh kasih Wikipedia.

Aku perhatiin gerakannya tuh kaya diatur banget. Bukan yang asal-asalan, tapi penuh filosofi. Tiap tangan yang digerakkan ke atas itu kayak nyambung sama doa atau harapan. Waktu aku ngobrol sama penarinya (yang ternyata udah latihan sejak SMP), dia bilang, “Tari Jempiring itu bukan soal tampil cantik di panggung, tapi soal menghormati.” Dan dari situ aku sadar, ini bukan cuma soal seni, tapi spiritualitas.

Banyak tarian daerah bisa terlihat megah, energik, atau teatrikal. Tapi Tari Jempiring ini lebih ke sisi “sunyi yang menyentuh.” Kayak meditasi, tapi dalam bentuk gerak.

Kenapa Tari Jempiring Harus Dilestarikan? Jawabannya Lebih Dalam dari Sekadar Tradisi

Kalau kamu pikir pelestarian itu cuma urusan dinas kebudayaan, ya… boleh sih. Tapi buatku, pelestarian Tari Jempiring itu udah masuk ke ranah “identitas.” Kita nggak bisa hanya bangga pakai baju adat buat foto-foto di medsos, tapi abai terhadap apa yang bikin budaya itu hidup.

Tarian ini mungkin belum seterkenal Pendet atau Legong, tapi dia punya pesan penting: bahwa keanggunan dan kelembutan itu kekuatan juga. Kalau Tari Jempiring hilang, kita bukan cuma kehilangan satu pertunjukan—tapi kehilangan cara nenek moyang kita mengekspresikan cinta, kelembutan, dan penghormatan lewat tubuh.

Apalagi di zaman sekarang, semua serba cepat, serba viral. Tarian seperti Jempiring ini ngasih semacam “rem”—bahwa ada hal-hal yang lebih indah kalau dinikmati perlahan.

Keunikan Tari Jempiring yang Membedakannya dari Tarian Bali Lain

Jujur, awalnya aku mikir, semua tari Bali mirip-mirip. Tapi makin aku perhatiin, makin terasa beda karakternya.

Tari Jempiring biasanya dibawakan oleh satu atau dua penari putri. Kostumnya dominan warna putih dan ungu, simbol bunga Jempiring itu sendiri. Gerakannya sangat lembut, bahkan kadang nyaris seperti “melayang.” Nggak ada hentakan keras atau gebrakan kaki seperti di tari-tari yang sifatnya ritual. Ini lebih ke ekspresi rasa syukur dan keindahan.

Satu hal yang paling aku suka adalah ekspresi wajahnya. Nggak datar, tapi nggak lebay juga. Penarinya kayak lagi berkomunikasi sama penonton pakai mata dan senyum kecil. Dan percaya atau nggak, itu susah banget ditiru. Aku pernah iseng nyobain—hasilnya? Kaku kayak tiang jemuran!

Ada juga penggunaan selendang ungu yang diselipkan dan digerakkan dengan sangat perlahan. Selendang ini bukan cuma aksesori, tapi bagian penting dari “cerita” dalam gerakan. Kadang diputar ke luar, kadang diangkat ke atas, kadang dibiarkan jatuh lembut. Semua ada artinya.

Tips Belajar Tari Jempiring: Dari Niat Baik Sampai Mental Tangguh

Kalau kamu tertarik buat belajar Tari Jempiring, pertama-tama siapin dulu mental. Serius. Karena meskipun terlihat sederhana, gerakannya butuh kontrol tubuh yang tinggi. Belum lagi soal ekspresi wajah yang harus selaras. Nggak bisa cuma gerak tangan doang, tapi muka kayak lagi ujian Matematika.

Tips pertama: jangan terburu-buru. Aku pernah ikut latihan dasar waktu di Ubud, bareng anak-anak sanggar. Dan aku kalah jauh dari anak umur 12 tahun. Mereka bisa tahan pose setengah jongkok selama 3 menit sambil senyum, sedangkan lututku udah goyang kayak blender.

Tips kedua: rekam dan tonton ulang dirimu sendiri. Waktu kamu gerak, kamu ngerasa udah bagus. Tapi pas ditonton ulang? Hmm… ternyata lebih mirip robot ketimbang penari. Ini bukan buat minderin, tapi justru buat memperbaiki.

Tips ketiga: pahami makna tiap gerak. Tari Jempiring bukan cuma soal “ikutin koreografi.” Tapi pahami kenapa tangan naik, kenapa selendang diputar ke kiri, kenapa harus senyum di detik tertentu. Kalau kamu ngerti maknanya, otomatis tubuhmu akan lebih “mengalir.”

Terakhir: latihan bareng komunitas. Sendirian itu bagus, tapi belajar bareng bikin kita lebih semangat. Di Bali, banyak sanggar kecil yang masih buka kelas tradisional, bahkan buat pemula dari luar daerah.

Kenapa Tari Jempiring Dijaga Begitu Kuat? Karena Ada Jiwa yang Hidup di Dalamnya

Menabuh dalam Kegelapan, Menari dalam Kebisuan | BALIPOST.com

Waktu aku ngobrol sama Ibu Made, seorang guru tari dari Tabanan, dia bilang: “Tari itu kayak doa. Kalau kamu kehilangan satu saja, kamu kehilangan sebagian dari doamu.” Itu menyentuh banget.

Tari Jempiring dijaga bukan cuma karena nilai sejarah, tapi karena dia punya energi hidup. Setiap kali tarian ini dibawakan, ada semacam rasa syukur yang dipancarkan ke alam dan leluhur. Di Bali, itu penting banget.

Kalau kamu perhatiin, banyak desa adat di Bali nggak akan sembarangan ngasih izin tampil Tari Jempiring di luar konteksnya. Mereka takut maknanya hilang. Dan aku setuju. Kita bisa aja nonton lewat YouTube, tapi beda rasanya waktu kamu nonton langsung di pelataran pura, dengan cahaya matahari sore, wangi dupa, dan suara gamelan yang pelan tapi menghanyutkan.

Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?

Jadi, setelah melihat, mencoba, dan belajar sedikit tentang Tari Jempiring, aku makin sadar bahwa pelestarian budaya itu bukan tugas orang lain. Tapi tugas kita semua—meski cuma dengan menulis, mengajarkan ke anak, atau datang dan menghargai pentas kecil di desa.

Kadang kita terlalu fokus ngejar budaya luar, sampai lupa budaya sendiri itu kaya banget. Tari Jempiring adalah salah satu permata yang nyaris tak terdengar gaungnya, tapi justru karena itulah dia perlu lebih disuarakan.

Dan ingat, budaya itu bukan hanya buat dilestarikan. Tapi buat dihidupkan.

Baca juga artikel menarik lainnya tentang Tari Gandrung Sasak: Warisan Budaya Lombok yang Memukau Dunia disini

Author